Beranda | Artikel
Sakit Kemudian Meninggal Di Bulan Ramadhan, Hutang Puasanya Bagaimana?
Minggu, 28 Juli 2013

Jika seseorang sakit di Bulan Ramadhan, ia tidak puasa selama beberapa hari. Orang akan menganggap ia masih ada utang puasa ketika ia sakit. Apakah utang ini perlu diqhada oleh walinya? Atau membayar fidyah? Berikut pembahasannya poinnya:

-jika sakit dan meninggal di tengah bulan Ramadhan

-jika sakit di bulan Ramadhan, kemudian sembuh di akhir Ramadhan dan tidak sempat mengqhada (tidak sengaja melambatkan)

-jika sakit di bulan Ramadhan kemudian sempat sembuh dan sengaja melambatkan qhada

 

Jika ada utang puasa maka diqhada oleh walinya (keluarga)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من مات وعليه صيام  صام عنه وليُّه

Siapa yang mati dan masih punya utang puasa maka dipuasakan oleh walinya (kerabatnya).”[1]

Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah hutang puasa Nadzar bukan hutang puasa Ramadhan, ini adalah pendapat terkuat dari beberapa pendapat ulama.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,

إِذا مرض الرجل في رمضان، ثمّ مات ولم يصم؛ أطعم عنه ولم يكن عليه قضاء، وإن كان عليه نَذْر قضى عنه وليُّه

“Apabila seseorang sakit di bulan Ramadhan, kemudian mati dan belum membayar utang puasa, maka dia ganti dengan memberi makan (fidyah), dan tidak ada qadha. Namun jika dia memiliki utang puasa nadzar maka diqadha oleh walinya atas nama mayit.”[2]

Ini juga pendapat Imam Ahmad rahimahullah , beliau berdalilh dengan atsar,

لاَ يَصُوْمُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ.

“Tidaklah seseorang berpuasa atas nama orang lain dan tidaklah seseorang shalat atas nama oran lain.”[3]

Jadi orang yang sakit tidak perlu dan punya utang Ramadhan tidak perlu diqhada (dipuasakan) oleh walinya.

 

jika sakit dan meninggal di tengah bulan Ramadhan

misalnya mulai sakit tanggal 1 Ramadhan dan meinggal tanggal 5 Ramadhan, maka utang puasa 5 hari tidak teranggap. Ia tidak perlu dibayarkan fidyah oleh walinya karena ini memang diluar kesanggupannya,

Allah Ta’ala berfirman,

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286).

Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah ditanya,

س: توفي والدي يوم ثلاثة رمضان، فهل يجب علي إكمال رمضان له، يعني أصوم نيابة عنه سبعة وعشرين يوما

.

Orang tua saya meninggal pada hari ketiga Ramadhan, apakah wajib menyempurnakan Bulan Ramadhannya? Yaitu saya mempuasakan menggantikannya selama 27 hari?

.

ج: ليس عليك شيء؛ لأن والدك لما توفي سقط عنه الواجب، فليس عليك أن تصوم عنه، ولا يشرع لك ذلك

Jawaban:

Tidak ada kewajiban apa-apa bagimu, karena orangtuamu ketika meninggal telah gugur kewajibannya. Tidak wajib bagimu mempuasakannya dan tidak disyariatkan.[4]

 

jika sakit di bulan Ramadhan tidak sempat mengqhada (tidak sengaja melambatkan)

misalnya ketika sembuh di akhir bulan Ramadhan kemudian meninggal, atau sempat mengqhada tetapi belum semuanya diqhada dan masih ada sisa utang puasa. Maka ini juga tidak perlu membayar fidyah.

Syaikh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah menjelaskan,

إذا مات المسلم في مرضه بعد رمضان فلا قضاء عليه ولا إطعام؛ لأنه معذور شرعا. وهكذا المسافر إذا مات في السفر أو بعد القدوم مباشرة فلا يجب القضاء عنه ولا الإطعام؛ لأنه معذور شرعا

“Jika seorang muslim sakit kemudian meninggal setelah Ramadhan, maka tidak ada qhada (diqhadakna) baginya dan tidak pula memberi makan (dibayarkan fidyah). Karena ia mendapat udzur syar’i. Demikian juga seorang musafir (yang tidak berpuasa) jika meninggal ketika safar atau meninggal langsung ketika sampai. Maka tidak wajib qhada dan memberi makan (dibayarkan fidyah). Karena mendapat udzur syar’i.[5]

 

Jika sakit di bulan Ramadhan kemudian sempat sembuh dan sengaja melambatkan qhada

Maka ia harus dibayarkan fidyah oleh keluarganya (wali), membayar fidyah bisa berupa memberi makan orang miskin dengan makanan pokok di daerahnya yang bisa mengenyangkan, satu hari utang puasa sama dengan satu orang miskin yang diberi makan. Jadi misalnya punya hutang puasa 3 hari, maka memberi makan 3 orang miskin dan boleh mereka dikumpulkan di satu tempat dan waktu kemudian diberi makan.

Dalam Masail Imam Ahmad, riwayat Abu Daud, beliau mengatakan,

سمعت أحمد بن حنبل قال: لا يُصامُ عن الميِّت إلاَّ في النَّذر، قُلْتُ لِأَحْمَدَ: فَشَهْرُ رَمَضَانَ؟ قَالَ: يُطْعَمُ عَنْهُ

“Saya mendengar Ahmad bin Hambal berkata, ‘Tidak boleh dipuasakan atas nama mayit kecuali puasa nadzar.’ Aku (Abu Daud) tanyakan kepada Ahmad, ‘Bagaimana dengan utang puasa Ramadhan?’ beliau menjawab, ‘diganti fidyah’.[6]

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,

إِذا مرض الرجل في رمضان، ثمّ مات ولم يصم؛ أطعم عنه ولم يكن عليه قضاء، وإن كان عليه نَذْر قضى عنه وليُّه

“Apabila seseorang sakit di bulan Ramadhan, kemudian mati dan belum membayar utang puasa, maka dia ganti dengan memberi makan (fidyah), dan tidak ada qadha. Namun jika dia memiliki utang puasa nadzar maka diqadha oleh walinya atas nama mayit.[7]

 

Demikian semoga bermanfaat,

 

@RS Mitra Sehat, Yogya, 20 Ramadhan 1434 H

penyusun:  dr. Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

 

silahkan like fanspage FB , subscribe facebook dan   follow twitter

 

 

 


[1] HR. Bukhari 1952 dan Muslim 1147

[2] HR. Abu Daud 2401 dan dishahihkan Al-Albani

[3] HR. Malik, kitab Ash-Shiyam, kitab An-Nadzr fish Shiyam wash Shiyam ‘anil Mayyit, secara mauquf pada Ibnu Umar Radhiallahu anhuma

[4] Majmu’ Fatawa bin Baz 15/376, syamilah

[5] Majmu’ Fatawa bin Baz 15/366-368, syamilah

[6]  Al-Masail Imam Ahmad, riwayat Abu Daud, Hal. 96

[7] HR. Abu Daud 2401 dan dishahihkan Al-Albani


Artikel asli: https://muslimafiyah.com/sakit-kemudian-meninggal-di-bulan-ramadhan-hutang-puasanya-bagaimana.html